Kuliner Sehat Berbahan Pangan Lokal 'Ndeso'
Potongan penganan berbentuk dadu dari umbi ganyong tersaji di piring. Ada pula krupuk berbahan pati dan potongan tempe. Di dekat penganan itu terdapat merica hitam dan putih produksi petani Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Amalia, peneliti pangan lokal dari Rumah Kita Bhoga atau Kibo's mengajak pengunjung untuk mencicipi pangan lokal itu. Makanan ini, kerap dianggap sebagai kuliner "ndeso" alias kampung. Amalia yang memasak pangan lokal Indonesia itu. "Memilih makanan asal kenyang atau sehat," tanya Amalia kepada pengunjung.
Ini adalah suasana Festival Pangan Lokal di Kedai Keblasuk, Condong Catur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, ada pameran poster kampanye pangan lokal yang berlangsung Ahad 20 Desember hingga Senin, 22 Desember 2014.
Acara ini digagas oleh organisasi non pemerintah Aliansi Desa Sejahtera bekerja sama dengan Kedai Keblasuk Yogyakarta. Kampanye keliling kota itu juga digelar di Jakarta dan Bandung pada hari yang berbeda.
Puluhan poster yang dipasang mengelilingi kedai bercerita tentang pangan lokal, misalnya tempe. Bahan pembuat tempe dan sumber gizi di dalamnya. Tak hanya poster, 60 produk varietas pertanian yang dikembangkan petani Indramayu, Jawa Barat juga tampil di sana. Varietas itu di antaranya benih padi lokal, benih sorgum, dan benih pare. Selain pameran, acara itu juga memutar film tentang pangan lokal dan diskusi bertema pangan liar dan pangan lokal.
Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan kegiatan itu merupakan kampanye mengajak masyarakat untuk peduli terhadap pangan lokal Indonesia. Yogyakarta dipilih sebagai tempat kampanye karena kota ini punya beraneka pangan lokal.
Menurut dia, belum semua kalangan peduli terhadap keberadaan pangan lokal. Padahal, dari sisi kandungan gizi, pangan lokal tak kalah dengan pangan impor.
Bahkan, pangan lokal jauh lebih sehat karena ditanam dengan memperhatikan keberlangsungan lingkungan. Misalnya beras varietas lokal yang menggunakan pupuk organik. Ada pula ketela pohon. "Pangan lokal diidentikan dengan makanan orang miskin dan tidak keren," kata dia. (Baca: Serundeng Jangkrik Bisa Dipesan di Surabaya)
Aliansi Desa Sejahtera mencatat angka impor produk pertanian Indonesia sangat tinggi. Rata-rata impor beras misalnya per tahun hampir mencapi 2 juta ton. Sedangkan, gandum mencapai 7 ton. Angka impor Indonesia terhitung sejak tahun 2003-2013 melonjak hingga 346 persen.
Kondisi yang kian memprihatinkan juga menimpa petani yang jumlahnya semakin berkurang. Tejo merujuk pada data Badan Pusat Statistik tahun 2013 yang menyebutkan Indonesia kehilangan petani sebanyak 5 juta orang. Selain itu, jumlah lahan pertanian semakin menyusut akibat alih fungsi lahan. "Indonesia darurat pangan," kata dia.
Tejo menyarankan masyarakat Indonesia mesti berani memilih pangan lokal. Misalnya mulai mengurangi konsumsi gandum dengan menggantinya ke ubi. Usaha ini paling tidak bisa mengurangi ketergantungan impor gandum.
Potongan penganan berbentuk dadu dari umbi ganyong tersaji di piring. Ada pula krupuk berbahan pati dan potongan tempe. Di dekat penganan itu terdapat merica hitam dan putih produksi petani Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Amalia, peneliti pangan lokal dari Rumah Kita Bhoga atau Kibo's mengajak pengunjung untuk mencicipi pangan lokal itu. Makanan ini, kerap dianggap sebagai kuliner "ndeso" alias kampung. Amalia yang memasak pangan lokal Indonesia itu. "Memilih makanan asal kenyang atau sehat," tanya Amalia kepada pengunjung.
Ini adalah suasana Festival Pangan Lokal di Kedai Keblasuk, Condong Catur, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, ada pameran poster kampanye pangan lokal yang berlangsung Ahad 20 Desember hingga Senin, 22 Desember 2014.
Acara ini digagas oleh organisasi non pemerintah Aliansi Desa Sejahtera bekerja sama dengan Kedai Keblasuk Yogyakarta. Kampanye keliling kota itu juga digelar di Jakarta dan Bandung pada hari yang berbeda.
Puluhan poster yang dipasang mengelilingi kedai bercerita tentang pangan lokal, misalnya tempe. Bahan pembuat tempe dan sumber gizi di dalamnya. Tak hanya poster, 60 produk varietas pertanian yang dikembangkan petani Indramayu, Jawa Barat juga tampil di sana. Varietas itu di antaranya benih padi lokal, benih sorgum, dan benih pare. Selain pameran, acara itu juga memutar film tentang pangan lokal dan diskusi bertema pangan liar dan pangan lokal.
Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan kegiatan itu merupakan kampanye mengajak masyarakat untuk peduli terhadap pangan lokal Indonesia. Yogyakarta dipilih sebagai tempat kampanye karena kota ini punya beraneka pangan lokal.
Menurut dia, belum semua kalangan peduli terhadap keberadaan pangan lokal. Padahal, dari sisi kandungan gizi, pangan lokal tak kalah dengan pangan impor.
Bahkan, pangan lokal jauh lebih sehat karena ditanam dengan memperhatikan keberlangsungan lingkungan. Misalnya beras varietas lokal yang menggunakan pupuk organik. Ada pula ketela pohon. "Pangan lokal diidentikan dengan makanan orang miskin dan tidak keren," kata dia. (Baca: Serundeng Jangkrik Bisa Dipesan di Surabaya)
Aliansi Desa Sejahtera mencatat angka impor produk pertanian Indonesia sangat tinggi. Rata-rata impor beras misalnya per tahun hampir mencapi 2 juta ton. Sedangkan, gandum mencapai 7 ton. Angka impor Indonesia terhitung sejak tahun 2003-2013 melonjak hingga 346 persen.
Kondisi yang kian memprihatinkan juga menimpa petani yang jumlahnya semakin berkurang. Tejo merujuk pada data Badan Pusat Statistik tahun 2013 yang menyebutkan Indonesia kehilangan petani sebanyak 5 juta orang. Selain itu, jumlah lahan pertanian semakin menyusut akibat alih fungsi lahan. "Indonesia darurat pangan," kata dia.
Tejo menyarankan masyarakat Indonesia mesti berani memilih pangan lokal. Misalnya mulai mengurangi konsumsi gandum dengan menggantinya ke ubi. Usaha ini paling tidak bisa mengurangi ketergantungan impor gandum.